Ulasan Buku The Satanic Verses (Ayat-Ayat Setan) karya Salman Rushdie



Melalui buku ini, Salman Rushdie tidak sekadar menulis novel, tetapi meletakkan sebuah ranjau pemikiran dalam bentangan batas-batas iman, identitas, dan imajinasi. Karya ini adalah eksplorasi kompleks tentang transendensi, kefanaan, dan konflik antara dunia modern dan tradisi religius yang sakral. Sejak diterbitkan, buku ini memicu kemarahan besar terutama dari sebagian umat Islam yang menganggapnya menghina Nabi Muhammad dan Islam, hingga berujung pada fatwa hukuman mati dari Ayatollah Khomeini. Namun jauh dari sekadar provokasi, novel ini adalah serangan estetis terhadap absolutisme dan keangkuhan ideologis—baik dari Timur maupun Barat.

Rushdie menyusun narasi melalui dua karakter utama, Gibreel Farishta dan Saladin Chamcha, dua aktor India yang selamat dari ledakan pesawat di langit Inggris, dan setelahnya, mengalami transformasi simbolis: satu menjadi seperti malaikat, lainnya iblis. Melalui perjalanan mereka, Rushdie memeriksa eksil, pergeseran identitas, dan trauma migrasi. Ini bukan sekadar kisah fantastis, melainkan alegori yang menyentuh luka-luka kolonialisme, rasialisme, dan fundamentalisme.

Salah satu bagian paling kontroversial adalah kisah fiktif tentang nabi bernama Mahound di kota Jahilia. Di sini, Rushdie menafsirkan ulang sejarah Islam secara alegoris dan tidak literal, tetapi ini cukup untuk dituduh sebagai penghinaan. Namun novel ini tidak ditulis untuk mencemooh agama, melainkan menguji bagaimana mitos dan wahyu dapat digunakan sebagai alat kuasa dan dominasi. Melalui teknik naratif surealis dan magis, Rushdie menunjukkan bahwa setiap agama adalah narasi—dan narasi selalu terbuka untuk tafsir, revisi, dan resistensi.

Salah satu kutipan penting berbunyi:

"Language is courage: the ability to conceive a thought, to speak it, and by doing so to make it true."

Terjemahan:

"Bahasa adalah keberanian: kemampuan untuk merumuskan pikiran, mengucapkannya, dan dengan begitu menjadikannya nyata."

Kutipan ini menggambarkan esensi dari misi sastra Rushdie: bahwa berbicara, menulis, menyatakan, adalah tindakan keberanian melawan sensor dan kekuasaan. Dalam dunia di mana dogma menjadi senjata, kata-kata adalah bentuk pemberontakan.

Rushdie juga menyentil konsep kenabian dan wahyu melalui baris ini:

"What kind of idea are you? Are you the kind that compromises, does deals, accommodates itself to society... or are you the cussed, bloody-minded, ramrod-backed type of damn-fool notion that would rather break than sway with the breeze?"

Terjemahan:

"Ide macam apa dirimu? Apakah kau jenis ide yang berkompromi, membuat kesepakatan, menyesuaikan diri dengan masyarakat... ataukah kau jenis ide keras kepala, berdarah, kaku seperti tongkat baja, yang lebih memilih patah daripada tunduk oleh angin?"

Dalam kutipan ini, Rushdie mempertanyakan keberanian intelektual dan moral untuk tetap teguh dalam keyakinan ketika keyakinan itu sendiri sedang ditantang oleh kekuasaan. Ia menyindir ide-ide agama atau sekular yang begitu mutlak dan enggan dikritik, seakan-akan sakral tanpa cela.

Novel ini bukanlah penolakan terhadap iman, melainkan tantangan terhadap cara iman digunakan sebagai alat represi. Ia menggugat konsepsi wahyu sebagai sesuatu yang tidak terbantahkan, dan dengan itu menempatkan dirinya dalam tradisi pencerahan yang mendambakan akal dan kebebasan berpikir sebagai cahaya melawan kegelapan dogma.

Pada akhirnya, The Satanic Verses adalah novel yang meminta pembacanya untuk bertanya, bukan menerima. Ia memprovokasi bukan untuk menghina, tetapi untuk membebaskan kesadaran dari ketaatan yang pasif. Bahwa sastra, seperti iman, adalah medan perjuangan antara yang tampak dan tersembunyi. Rushdie tidak menawarkan jawaban, melainkan keberanian untuk terus bertanya di tengah dunia yang ingin segalanya seragam dan suci.

Seperti yang ia tulis:

"From the beginning men used God to justify the unjustifiable."

Terjemahan:

"Sejak awal manusia telah menggunakan Tuhan untuk membenarkan yang tak dapat dibenarkan."

Dan mungkin di sinilah letak dosa terbesar Rushdie di mata mereka yang marah—bukan karena ia menghina Tuhan, melainkan karena ia menunjukkan bagaimana manusia telah menciptakan Tuhan dalam citra kekuasaan mereka sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Punk's Not Dead: Punk Tidak Mati, Ia Ber-evolusi

Ulasan Buku Eksistensialisme dan Humanisme karya Jean Paul Sartre

Enigmakrostik oleh Andi Fitriyanto