Ulasan Buku The Curse of God: Why I Left Islam karya Harris Sultan

 


The Curse of God: Why I Left Islam

"It was not hatred that made me leave Islam, it was love for reason, humanity, and truth."

Terjemahan:

“Bukan kebencian yang membuat saya meninggalkan Islam, melainkan cinta pada nalar, kemanusiaan, dan kebenaran.”

Harris Sultan adalah mantan muslim asal Pakistan-Australia yang dikenal sebagai aktivis ex-Muslim dan promotor ateisme di wilayah Asia Selatan. Dalam The Curse of God, ia menulis dengan gaya yang lugas, tajam, dan terkadang provokatif, menyuarakan kritik terhadap ajaran Islam dari perspektif rasional, historis, dan humanistik. Buku ini lahir dari pergulatan personal dan intelektual Sultan ketika mempertanyakan keimanannya dan ajaran Islam secara menyeluruh. Ia menyasar para pembaca muslim yang mulai meragukan dogma dan ingin memeriksa agama mereka melalui lensa logika dan sains.

Buku ini terbagi dalam beberapa bab yang mengupas berbagai aspek Islam—dari klaim keilahiannya, moralitas Nabi Muhammad, hingga keabsahan Al-Qur’an sebagai firman Tuhan. Harris menggunakan pendekatan skeptis, dan dalam banyak bagian, menyerang fondasi dasar agama dengan argumen-argumen yang sering disampaikan dalam lingkaran ateis modern seperti Richard Dawkins, Christopher Hitchens, dan Sam Harris. Gaya penulisannya langsung, penuh emosi, dan bertujuan untuk “membuka mata”, khususnya bagi mereka yang dibesarkan dalam lingkungan Islam konservatif.

Harris Sultan menunjukkan bahwa klaim Islam sebagai agama terakhir dan satu-satunya yang benar tidaklah unik. Ia membandingkannya dengan agama-agama lain yang membuat klaim serupa dan membongkar kerangka logika di balik keimanan berbasis dogma.

Salah satu bagian paling kontroversial adalah ulasannya terhadap kehidupan Nabi Muhammad. Ia menyoroti isu-isu seperti pernikahan dengan Aisyah, peperangan, budak, dan hukuman-hukuman kejam. Bagi Sultan, sosok Muhammad bukanlah panutan moral universal, melainkan tokoh historis yang mencerminkan nilai-nilai patriarkal Arab abad ke-7.

Ia menelusuri kontradiksi, kesalahan ilmiah, dan inkonsistensi dalam Al-Qur’an. Di sini, Sultan menyandingkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan pengetahuan modern, menunjukkan bagaimana kitab suci ini tidak dapat dianggap sebagai mukjizat ilmiah.

Sultan memandang bahwa agama menghambat kemajuan sains dan kebebasan berpikir. Ia membandingkan sejarah dunia Islam pada masa keemasan dengan kemunduran yang terjadi setelah kebangkitan dogmatisme.

"It was not hatred that made me leave Islam, it was love for reason, humanity, and truth."

Terjemahan:

“Bukan kebencian yang membuat saya meninggalkan Islam, melainkan cinta pada nalar, kemanusiaan, dan kebenaran.”

Sebuah deklarasi penting yang menunjukkan bahwa dekonversi tidak selalu berakar pada kebencian, melainkan pada aspirasi etis dan rasional.

Buku ini tidak hanya merobohkan Islam dalam pandangan penulis, tetapi juga menawarkan alternatif berupa humanisme sekuler, di mana nilai-nilai etika dibangun atas dasar empati, akal, dan hak asasi manusia, bukan perintah Tuhan.

Harris Sultan berbicara dari pengalaman pribadi dan tidak ragu mengkritik keras keyakinan yang ia anut sebelumnya. Buku ini bisa menjadi suara penting bagi ex-Muslim yang terpinggirkan.

Meski bukan akademik, argumen-argumennya dikemas dalam bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca awam.

Ia tidak hanya menyerang dari luar, tapi mengutip banyak dari Al-Qur’an dan hadis untuk membongkar inkonsistensinya.

Seperti halnya karya-karya dari ex-Muslim lainnya (Why I Am Not a Muslim oleh Ibn Warraq atau Leaving Islam oleh Ali Sina), buku ini menimbulkan kontroversi dan penolakan keras dari komunitas muslim konservatif. Namun, bagi banyak orang yang berada di ambang dekonversi atau sedang mempertanyakan iman mereka, The Curse of God bisa menjadi semacam pelepasan beban mental, pembuka jalan menuju pencerahan intelektual.

Buku ini penting dalam konteks kebebasan berpikir, hak menyatakan kepercayaan atau ketidakyakinan, dan kritik terhadap absolutisme agama. Harris Sultan bukan hanya meninggalkan Islam, tapi juga menggugat narasi religius dengan pendekatan kritis dan rasional. Dalam masyarakat yang masih tabu membicarakan ateisme atau keraguan terhadap agama, buku ini adalah teriakan lantang dari mereka yang tak ingin lagi diam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Punk's Not Dead: Punk Tidak Mati, Ia Ber-evolusi

Ulasan Buku Eksistensialisme dan Humanisme karya Jean Paul Sartre

Enigmakrostik oleh Andi Fitriyanto